My Son, My Enemy

Hasil prakarya Abang sore tadi (ps. Walo saya yang bikin tulisannya ^,^) Cerita tentang My Son, My Enemy ini bermula saat hari kelahir...

My Son, My Enemy
Hasil prakarya Abang sore tadi (ps. Walo saya yang bikin tulisannya ^,^)
Cerita tentang My Son, My Enemy ini bermula saat hari kelahiran putra sulung kami, si Abang. Saya yang tadinya tidak tahu menahu perihal weton, yaitu hari lahir berikut pasarannya dalam budaya jawa, mendadak peduli. Kenapa? Karena pada hari kelahiran si Abang, ibu saya berkelakar, "Wah kok ibu dan bayinya punya weton yang sama ya, kalau orang jawa biasanya si bayi disuruh tinggal terpisah dulu dari ibunya sampai dewasa. Konon, weton yang sama itu artinya punya sifat dominan yang sama, jadi kalau hidup bersama pasti bakal sering bertengkar..." kata ibu saya saat itu. Saya tahu sebenarnya ibu hanya berseloroh saja, karena keluarga kami memang tidak pernah memikirkan hal-hal seperti itu.

Waktu itu saya hanya tersenyum sambil menjawab dalam hati, "Masa iya harus dipisah segala? Kasihan dong!", "Masa ibu sama anak bisa musuhan kalau hidup bersama? Lalu kemana gerangan si ikatan batin?". Namun siapa sangka dibalik pengabaian saya, jauuuuuuuh di lubuk hati terdalam saya penasaran juga, "Apa iya besok saya juga begitu?" sekaligus tertantang bahwa selama saya bisa mendidik Abang sebaik mungkin, pastilah semua itu akan terbukti tidak benar! Terlebih lagi, ada seorang kawan yang adiknya juga terpaksa hidup dengan sang nenek karena urusan weton ini, waktu saya tanya bagaimana hasilnya setelah dewasa hidup berkumpul lagi dengan orang tuanya? Jawabnya, "Ya jelas 'bener' ga pernah bertengkar sama ibuku, orang ketemunya dari kecil juga jarang. Apa yang mau diributin?" Hwakakakakak.... Saya sampai ngakak banget dengernya, pasti kalian semua juga bakal bilang, "YA IYYA LAHHHHH", juga kan? ^_^

So, apakah istilah My Son, My Enemy ini berlaku kepada kami berdua, saya dan si Abang yang kini berusia tujuh tahun? Let's check the facts :
  1. Memang sih, Abang sering menjadi 'musuh' saya saat di rumah. Sifatnya yang keras dan ekspresif membuat Abang selalu mengungkapkan apapun yang ada di pikirannya. Lucunya, moment-moment kami 'bertengkar' itu bisa miriiiiip banget kaya dua anak kecil yang saling mengolok, lengkap dengan bibir monyongnya! Hehe.. Kalau sudah pakai pose begitu, buntutnya kami pasti tertawa sendiri ;)
  2. Meski begitu, si Abang tahu betul kapan saya memang serius mengingatkan. Saat memberlakukan time out pun dia tak pernah melanggar konsekuensi yang telah kami sepakati. Artinya dia telah belajar arti tanggung jawab.
  3. Alarm. Itu adalah peran putra sulung kami bagi saya pribadi. Bukan sebagai alarm waktu, tapi lebih sebagai pengingat dalam segala aspek hidup saya. Abang adalah orang yang pernah 'menusuk' saya tentang pelajaran menutup aurot dirumah, dia juga penasehat fashion pribadi saya selain sang ayah. Misalnya saat saya tanya, "Roknya lucu ya, Bang.", dia spontan menjawab, "Nggak ah, pendek!" atau "Ya, jempoll" atau "Jangan, jelek!", dan saya yakin jawabannya itu selalu jujur, bukan semata ingin membuat saya senang. Termasuk dalam hal ibadah, meredam emosi, menaati jadwal harian kami, mengurangi gadget, Abanglah alarm yang selalu saya syukuri.
  4. Teman curhat. Di usia tujuh tahun, si Abang termasuk anak yang dewasa dan bertanggung jawab, ia juga kritis dan peka terhadap perasaan orang lain. Pribadi humble, easy going dan simpatik itulah yang membuatnya mudah berbaur di mana saja dan dengan siapa saja. Dia adalah kawan favorit bagi teman-temannya, termasuk saya! Karena kami lebih sering di rumah bertiga sementara sang ayah bepergian ke luar kota, akhirnya kami sering menjadi teman curhat alias selalu terbuka mengungkapkan apa yang kita rasakan. Dia juga pribadi yang pandai menghibur. Seperti suatu hari saya curhat, "Ayah perginya lama ya, Bang", Abang pun menimpali, "Iya, padahal Bunda, Abang sama Adek kan kangen ya. Ayah perginya lama-lama ya Bund." Setelah itu biasanya kami telepon sang Ayah, sekedar kirim foto, atau mengirim pesan suara sambil ketawa-ketiwi. Sungguh, itu sangat berarti bagi saya.
  5. Partner diskusi yang menggemaskan. Saking gemasnya seringkali saya uwel-uwel pipinya di sela-sela diskusi kami. Bagaimana tidak, Abang adalah tipe anak yang bisa sampai nangis kalau pertanyaan yang diajukan belum mendapat jawaban yang memuaskan atau belum bisa dipahaminya. Dan kata-kata sakti yang paling bikin saya desperate saat diskusi adalah, "Abang belum paham!". Nah, kalau sudah begini, saya harus putar otak, entah cari alat peraga, lari ke peta, buka youtube, tanya mbah google atau apalah-apalah lainnya sampai dia paham dan nggak nangis lagi. Belum lagi pertanyaan-pertanyaannya yang selalu ajaib seputar perang Yaman, gempa Nepal, presiden Jokowi, arti kata drastis, dll. Tahu kan, perasaan frustrasi saya? Wkwkwk
Kesimpulannya, sepertinya teori weton My Son, My Enemy itu tidak berlaku bagi kami. Saya justru sangat menikmati hubungan gado-gado kami ini. Setelah tujuh tahun dari kejadian 'weton' itu, Abang adalah sparing partner saya dalam hal berantem ala anak bayi, alarm yang selalu berdering kalau saya mulai melenceng, temen curhat yang pengertian, partner diskusi yang heboh, namun tetap memiliki rasa hormat kepada orang tua dan konsekuen dengan apa yang dia lakukan.

Mau bagaimana lagi, di saat-saat kesepian kami (diantara minimnya waktu kebersamaan dengan sang ayah), saya, abang dan si adek hanya punya satu sama lain. Jadi, kami harus selalu happy dan saling menghibur sambil menunggu sang ayah pulang. Huhuhu.... #malahcurcol.

Gudnite everybodyeahhh ^_^

Related

Omong Kosong 7385406192598166683

Post a Comment

Hai, saya Nurul.
Terima kasih telah berkunjung dan berkomentar pada artikel ini. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.
Salam hangat.

emo-but-icon

item