Ibu, Guru Pertama yang Tak Luput dari Alpa

Ibu, Guru Pertama yang Tak Luput dari Alpa Pepatah bahasa Arab "Al Ummu Madrosatul Uulaa" yang memiliki arti Ibu adalah...

Ibu, Guru Pertama yang Tak Luput dari Alpa
Ibu, Guru Pertama yang Tak Luput dari Alpa
Pepatah bahasa Arab "Al Ummu Madrosatul Uulaa" yang memiliki arti Ibu adalah sekolah utama, tentu sudah tak asing lagi di telinga kita. Dan memang begitulah adanya. Seorang ibu adalah guru pertama dan yang utama bagi anak-anaknya. Jika kita melakukannya dengan baik, maka kita sedang mempersiapkan generasi terbaik. Sebagai ibu dari dua orang putera, saya selalu menanmkan dalam diri, bahwa saya sedang membesarkan seorang suami bagi isterinya, ayah bagi anak-anaknya dan pemimpin bagi orang-orang di sekitarnya. Dengan begitu, saya tidak pernah menganggap remeh setiap kegiatan yang saya lakukan bersama anak-anak, karena kelak Allah akan bertanya pada saya tentang bagaimana saya menjaga 'titipanNYA'. Dititipin Allah, lho. Kita diberi tugas pimpinan aja selalu bertanggung jawab, apalagi diberi amanah oleh Yang Maha Memberi Hidup?

Dari sudut pandang lain, Dr. Gillian Turner, pengajar di Victoria University of Wellington, New Zeland pernah mangatakan, "Seorang laki-laki harus mengabaikan dorongan primitifnya dalam memilih pasangan, yang menargetkan hanya dari daya tarik seksual. Ingatlah bahwa kecerdasan anak di masa depannya akan ditentukan oleh tingkat kecerdasan pasangan yang ia pilih". (The Asian Parent). Ditunjang dengan studi yang dilakukan oleh Medical Research Council Social and Public Health Science Unit terhadap 12.686 orang yang berusia 14 - 22 tahun, dengan pertanyaan yang berfokus pada IQ, ras, pendidikan dan status sosial - ekonomi. Kesimpulan yang dihasilkan adalah bahwa prediktor terbaik dari kecerdasan anak adalah IQ ibu mereka. (science.idntimes.com)

Penjelasan dari sisi agama dan ilmu pengetahuan di atas, tak pelak menjadikan ibu sebagai hal terpenting atas masa depan sebuah generasi. Hal ini menjadi penyemangat sekaligus tanggung jawab yang luar biasa bagi seorang ibu, yang pada akhirnya memunculkan idealisme-idealisme di kepala  kita dalam mendidik anak. 

Sebagai ibu jaman now, kita telah mendapat akses informasi yang tak terbatas seputar pengasuhan anak. Di satu sisi, ini adalah hal baik untuk terus belajar. Namun di sisi lain, tak jarang membuat kita sedih, down, merasa jauh dari harapan bila dibandingkan ibu-ibu yang lain. Itulah mengapa, sebagai guru pertama yang tak luput dari alpa, ibu harus sadar dengan 3 hal ini :

1. Siap untuk selalu belajar
Ibu haruslah seorang pembelajar. Belajar berkata baik pada anak dan suami, belajar memasak, belajar bersabar, belajar menerima masukan / kritik, dan tentunya belajar selama proses mendidik anak. Bersyukur saat ini sudah banyak kajian, seminar maupun event yang membahas tentang parenting dari berbagai sudut pandang keilmuan.

2. Menurunkan standar ideal
Sebelum menikah, saya memiliki bayangan akan menjadi seorang profesional yang berkarier di sebuah perusahaan besar. Namun keinginan tersebut mulai berbenturan ketika saya memiliki bayi yang masih membutuhkan ASI, sementara suami dituntut untuk sering bepergian ke luar kota. Jadi, saya menurunkan standar ideal saya dalam hal karier yang pada akhirnya mengubah mindset saya secara keseluruhan.

Begitu pun dalam urusan rumah tangga. Kalau biasanya perempuan identik dengan rumah yang rapi, bersih dan wangi, maka bersiaplah menurunkan standar kita di saat memiliki anak bayi hingga balita. Kotor sedikti tidak masalah, dinding penuh coretan disabar-sabarin, sehari nggak sanggup ngepel 3 kali, ya disapu saja. Menurunkan standar ideal adalah salah satu cara membuat kita tetap bahagia di tengah riuhnya kehidupan seorang ibu.

3. Tak masalah untuk meminta bantuan orang lain
Ada suatu masa dimana saya ingin melakukan segala hal sendiri, terutama yang berhubungan dengan pengasuhan anak. Dengan penuh semangat, kami (saya dan anak-anak) membuat jadwal kegiatan harian, dari prakarya, baca buku, nonton video, main seru-seruan, mengaji dan belajar apa saja setiap harinya. 

Hingga baru-baru ini si Abang terlihat mulai tertekan dan stress setiap kali belajar matematika. Hal yang tidak pernah kami alami sebelumnya. Sejak 3 tahun pertamanya di Sekolah Dasar, ia selalu belajar dengan semangat dan gembira, namun di tahun keempat ini pelajaran matematika mulai menjadi hal menakutkan baginya. Hal ini diperparah dengan asam lambungnya yang meningkat setiap kali ia stress, setiap belajar angka tiba-tiba merasa mual, mau muntah, hingga sesak di dada! Duh, saat itu rasanya saya gagal menjadi guru yang baik. Mewek berat pokoknya..

Setelah sharing dengan beberapa rekan pendidik, teman, keluarga dan mendengarkan keinginan si abang, saya mulai membuka diri untuk menerima bantuan, dalam hal ini dengan membuka kemungkinan memanggil guru les atau yang sejenis. Awalnya saya merasa tak perlu karena masih sanggup mengajarinya sesuai idelisme saya, namun juga menyadari adanya kemungkinan cara mengajar saya yang kurang pas, ekspektasi saya terhadap si anak, kurang sabarnya saya, yang pada akhirnya bisa membuat ia tertekan.

Intinya, meminta bantuan orang lain tak lantas membuatmu jadi ibu yang buruk.

Tiga hal di atas terlihat sepele saat dibaca, akan tetapi butuh perjuangan untuk bisa melakukannya, setidaknya bagi saya. Karena bagaimanapun, ini adalah kali pertama saya menjadi orang tua (haish, korban Drakor!). Terima kasih buat Mba Relita dan Mba Yuli yang memilih tema Guru pada #ArisanBlogGandjelRel periode 16 ini. Semoga bermanfaat!

Related

Pendidikan Anak 550637520390843775

Post a Comment

  1. Meski berlatarbelakang pendidikan keguruan, harus kuakui mendidik anak2 sendiri jauh lebih rumit daripada berinteraksi dengan peserta didik. Sbg manusia biasa, yg kulakukan adalah mendidik mereka sebaik yg kumampu dan terus berusaha mjd ibu yg semakin baik buat mereka

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju mba Ev, jadi ibu itu belajar seumur hidup ya..

      Delete
  2. Huff.. Berat ya menjd guru pertama bagi generasi penerus :)

    ReplyDelete
  3. Menurunkan standar ideal, kerasa banget ni skrg sy mba..mulai dr karier, rumah..kalau tll memaksakan mmg jg beban yaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyya beban banget mba Icha, rasanya kita jadi ga bener terus..

      Delete
  4. Menurunkan standar ideal, kerasa banget ni skrg sy mba..mulai dr karier, rumah..kalau tll memaksakan mmg jg beban yaa

    ReplyDelete
  5. Meminta bantuan pun akhirnya aku lakukan sejak nadia kelas 4 mbak. Tadinya aku yakin aja bisa ngajarin sendiri toh selama ini lancar aja tapi makin kesini tiap x belajar ama aku banyak berantemnya udah gitu sekarang ada bayi pulak jadi aku ga bisa ngatasin sendiri dan akhirnya cari guru les. Sejak ada mbak guru nadia jadi.lebih baik belajarnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Si sulung pun kelas 4 mba, baru mulai kerasa kalau abangnya ujian, adeknya jadi keteteran ngajinya..

      Delete
  6. Meminta bantuan itu makjleb :) kadang pengen perfect

    ReplyDelete
    Replies
    1. I feel u mba Wuri, pengennya apa-apa dihandle sendiri. Ternyata emak pun butuh bantuan..

      Delete
  7. Ujian ya jadi ibu kudu sabar memang, kata adikku kadang suka terpancing emosi pas mendidik anaknya dua yang balita lucu dan aktif 😀

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyya mba Vit, seringnya ibu itu lebih gampang marah ke anak. Astaghfirullah..

      Delete

Hai, saya Nurul.
Terima kasih telah berkunjung dan berkomentar pada artikel ini. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.
Salam hangat.

emo-but-icon

item