Hidup untuk Apa?

Hidup untuk Apa? Pertanyaan " Hidup untuk Apa , sih?" tentu sudah tak asing lagi di telinga kita. Sayangnya, pertanyaan ters...

Hidup untuk Apa?
Hidup untuk Apa?
Pertanyaan "Hidup untuk Apa, sih?" tentu sudah tak asing lagi di telinga kita. Sayangnya, pertanyaan tersebut sering kali BARU muncul di saat seseorang sedang berada di titik terbawahnya. Entah sedang sakit, sedih, atau sedang mengalami musibah dalam bentuk apapun. Ya, ironisnya kita baru mengingat tujuan hidup dan Yang Maha Memberi Hidup 'hanya' saat kita sedang membutuhkan pertolongan.

Jujur saja, saya sendiri benar-benar memikirkan pertanyaan "Hidup untuk Apa?" baru saat di bangku kuliah. Sebelumnya? Ya.. saya hanya tahu dari para guru bahwa hidup kita adalah untuk mencari ridho Allah. Saat itu rasanya kata-kata tersebut menjadi semacam jawaban baku bagi pertanyaan tentang tujuan hidup, dan saya hanya bisa berpikir, "Ridho Allah itu yang seperti apa?" bagaikan hal abstrak dan susah dimengerti. Sungguh, bahkan saat di usia kuliah yang notabene menuju dewasa, bagi saya 'Ridho Allah' itu seperti sesuatu yang jauh dan tak terjangkau.

"Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam"

Di akhir masa kuliah, tepatnya setelah ujian skripsi dan menanti waktu wisuda, saya memasuki babak baru bernama pernikahan. Sebagai orang yang masih meraba-raba tentang tujuan hidup, saya merasa hidup itu bak roller coaster. Hari ini bahagia, esok datang kesedihan. Pagi menyambut matahari dengan senyum, siang masalah merundung. Bahkan tak jarang saya menghitung waktu, berapa lama saya bisa tenang tanpa masalah sebelum datang masalah berikutnya.

Dari situ saya mulai 'seolah' mendapat jawaban, oooh ternyata dalam hidup yang dicari orang itu adalah KETENANGAN. Sehebat apapun kita, sebanyak apapun harta yang dimiliki, sesukses apapun dalam karier, secantik / setampan apapun pasangan, semua orang pada dasarnya ingin hidup tenang. Maka sejak saat itu saya selalu memohon kepada Allah agar diberi ketenangan batin dalam setiap doa yang terpanjatkan.

Tidak berhenti sampai di situ, menginginkan ketenangan itu ternyata ada caranya, bukan doa semata. Pantaslah meski selalu berharap ketenangan, saya masih saja kemrungsung, panik bahkan kadang terpancing emosi (yang tentunya berasal dari bisikan syaitan) saat didatangkan masalah. Baru sekitar dua tahun terakhir ini dalam sebuah majelis ilmu, saya mendapat pelajaran luar biasa bahwa hidup adalah pergiliran antara hisab dan qisas

Hisab adalah hal yang kita alami langsung, sebagai penghapusan dosa yang pernah kita lakukan di masa lampau. Misalnya, sakit adalah hisab atas dosa tertentu kita. Flu biasanya terkait dengan kita yang suka menunda sholat, Batuk biasanya sedang ada pertentangan atau ganjalan di hati, dsb. Ingat cara penyembuhan sebagaimana Ustadz Danu? Ya, kurang lebih begitulah hisab. Hal yang langsung kita rasakan. Tidak hanya berupa sakit, bisa juga ditipu orang, kehilangan, dll. Setiap menerima sesuatu yang buruk atau tidak saya sukai (termasuk sakit, bencana, masalah), saya usahakan segera kembali kepada Allah. Menyatakan bahwa saya terima hisab ini sebagai peringatan dari Allah atas dosa saya, dan mohon Allah tunjukkan dosa mana yang sedang dipermasalahkan melalui ayat-ayat Al-Qur'an. Jadi sudah tidak ada lagi kesedihan berlebihan, protes kepada Allah kenapa saya begini? Kenapa bisa begitu? Kenapa harus saya? Karena kita percaya itulah hisab kita. Saat kita bisa menerimanya dengan lapang sambil terus memohon ampun, yakinlah Allah akan menghapuskan dosa-dosa kita.

Sedangkan qisas adalah peringatan atas dosa kita di masa lampau yang tersampaikan melalui orang lain. Kalau di AlQur'an disebutkan tentang hukum qisas, mata dibalas mata, mulut dibalas mulut. Begitulah qisas, atau orang jawa sering mengatakan 'karma'. Contoh kecilnya, saya sering kali tanpa sadar bicara 'nylekit' atau ketus sebagai bentuk ketidaksukaan saya terhadap sesuatu. Maka jika suatu hari ada orang yang tiba-tiba berbicara ketus kepada saya, yang bisa saya lakukan hanyalah "Astaghfirullahal 'adziiim, pasti banyak juga orang yang pernah sakit hati atas perkataan saya, makanya hari ini saya ditunjukkan gambaran diri saya." Dengan begitu kita lebih lapang menerima hal baik atau buruk yang terjadi, tak ada lagi asal menilai orang (walau pada prakteknya saya masih sering berprasangka karena menuruti hawa nafsu), karena semua itu sebenarnya adalah peringatan dan pelajaran bagi saya. Meski hati saya terkadang masih saja mudah 'tidak suka' atas sikap sesorang, namun saya benar-benar berusaha mengembalikan semua yang saya alami kepada Allah, apa yang terjadi kepada saya pasti ada ijin dari Allah. Inna lillah wa inna ilaihi roji'un... Tinggal bagaimana saya menyikapinya, apakah saya termasuk orang-orang yang mau berpikir dan mengambil pelajaran? Atau justru mencari hal lain untuk bisa dipersalahkan.

Dengan cara selalu mengambil Hisab dan Qisas itu perlahan saya mulai merubah cara pikir saya untuk tidak selalu marah pada keadaan, marah pada manusia maupun marah pada ketetapan Allah. Dengan kata lain, melalui Hisab dan Qisas inilah sebenarnya Islam telah mengajarkan pada kita umatnya untuk berpikiran positif. Bahkan dalam Al-Qur'an dikatakan bahwa Peringatan adalah suatu hal yang bermanfaat, jika kamu mengerti.

Saya juga seakan-akan bisa memahami, pantas saja manusia semulia Rasulullah SAW sudah tidak memiliki rasa benci maupun marah meski dilempari kotoran oleh orang-orang kafir, serta menjadi pribadi yang begitu pemaaf. Maha Suci Allah, Tuhan Langit, Tuhan Bumi, Tuhan Semesta Alam.

Dan baru di tahun ini pula saya dipahamkan, bahwa saat Allah telah meridhoi hidup kita, artinya apa yang kita lakukan sejalan dengan tuntunan Allah. Apa yang kita harapkan dikabulkan oleh Allah, keinginan kita di'iya'kan oleh Allah. Siapa yang tidak mau? Pasti semua orang menginginkan hidup yang diridhoi Allah, namun tentunya tidak semudah itu untuk mencapainya. 

Akhirnya kepala saya seolah baru bisa menerima penjelasan bahwa Kehidupan yang diridhoi Allah lah yang kita cari. Dengan 'berhijrah' mengubah pola pikir kita, cara memandang masalah dan penyelesaiannya, sikap kita dalam kehidupan sehari-hari, mencintai segala sesuatu tidak melebihi cinta kita pada Allah (yang ini perlu di bold buat saya). 

Jadi, Hidup untuk Apa? untuk mencari keridhoan Allah, dengan selalu mengambil hisab dan qisas sebagai pelajaran dan peringatan setiap harinya, mengembalikan segala permasalahan kepada Allah, karena tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah yang Maha Perkasa. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan seru sekalian alam. Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billahil 'Aliyyil "Adziim...

Sebuah perenungan teruntuk diri saya sendiri

Related

Omong Kosong 9206891918058017211

Post a Comment

Hai, saya Nurul.
Terima kasih telah berkunjung dan berkomentar pada artikel ini. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.
Salam hangat.

emo-but-icon

item