Televisi, Haruskah Dihindari?
Televisi, Haruskah Dihindari? via sandracelly.blogspot.com Televisi, Haruskah Dihindari? Mari sama-sama kita simak artikel pemicu beri...
https://www.parentingid.com/2015/11/televisi-haruskah-dihindari.html
Televisi, Haruskah Dihindari? via sandracelly.blogspot.com |
Televisi, Haruskah Dihindari? Mari sama-sama kita simak artikel pemicu berikut ini.
Ah, televisi! Tua-muda, besar-kecil, lulusan SD hingga profesor sekalipun terlihat larut dalam emosi masing-masing sambil menatap layar benda elektronik itu. Begitulah, tanpa pandang bulu, televisi berhasil mengikat perhatian orang untuk terus menerus menyimak konten-kontennya yang bervariasi. Tak pelak, banyak yang akhirnya kecanduan menonton televisi tanpa memperhatikan dampak negatif tv pada anak.
Iklan. Sebagian orang, termasuk kami, mulai menggelisahkan kehadiran televisi dalam rumah. Selain resiko kecanduan, dengan menonton televisi, itu artinya kami harus bersedia melahap iklan-iklan komersil yang tanpa ampun menjejali mata dan otak. Iklan-iklan berkelas maupun asal-asalan, semua membawa pesan yang sama: Beli! Beli! Beli! yang tentu saja mendorong perilaku konsumtif. Bisa dikatakan, semua iklan juga mengaku sebagai produk terbaik dan berkualitas. Tetapi, coba cek di bagian belakang kemasan produk : Berapa persen bahan-bahan alami yang terkandung dalam sebuah produk yang mengklaim dirinya ‘alami’? Berapa persen bahan-bahan sehat yang terkandung dalam produk makanan / minuman yang mengaku bagus untuk kesehatan dan dapat meningkatkan kecerdasan? Tayangan macam inikah yang sebenarnya kita inginkan untuk keluarga, terutama anak-anak?
Program-Program Sajian. Dewasa ini, banyak orangtua yang mengeluhkan konten acara talkshow dan sinema berseri yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun televisi. Tanpa harus disebutkan, kami yakin pembaca punya kegelisahan sendiri tentang bagaimana kedua jenis acara yang sedang menguasai lebih dari 50% tayangan televisi itu menampilkan adegan minim nilai etika-moral, adegan yang memicu penontonnya untuk terjerumus ke dalam pergaulan bebas, dan cara berpikir pendek penuh angan-angan, sehingga mengabaikan realitas dunia nyata. Juga, berita-berita yang dipenuhi dengan berita negatif (politik kotor, korupsi, kriminalitas). Padahal, masih banyak hal positif yang bisa dijadikan perimbangan komposisi berita. Rasanya, orang semakin tenggelam dalam dunia persepsi bentukan media televisi.
Memilih ‘Makan Sendiri’ Daripada ‘Disuapi’. Banyak orang akhirnya berlangganan TV Kabel, sehingga mereka bisa memilih sendiri ‘menu-menu’ tontonan yang dianggap ‘sehat’. Menolak untuk terus-menerus ‘disuapi’ oleh pertelevisian lokal yang semakin tak jelas arahnya. Channel luar negeri, terutama, memang lebih minim iklan. Atau, seperti yang kami lakukan 3 tahun belakangan ini, sekalian meniadakan benda yang yang bernama televisi. No TV.
Tips Membentuk Kebiasaan ‘NO TV’ Bersama Anak
Bila kita memutuskan hendak menjalankan program NO TV dalam keluarga, tentulah amat berkaitan erat dengan pola asuh yang diterapkan pada anak. Oleh karena itu, perlu dipikirkan cara yang tepat supaya bisa membentuk kebiasaan ‘NO TV’ bersama anak dengan konflik seminimal mungkin. Bahkan kalau bisa, anak merasakan kegembiraan baru dengan tiadanya televisi. Dan, inilah yang kami lakukan untuk menerapkan kebiasaan baru tersebut :
1. Tidak menyediakan televisi di rumah
Jual atau berikan televisi pada orang lain begitu memutuskan program NO TV di rumah. Selama masih ada televisi di rumah, akan lebih berat mempertahankan konsistensi kebiasaan NO TV yang sedang dibentuk.
2. Terangkan alasannya
Edukasi tentang bahaya televisi dilakukan secara bertahap, dengan bahasa yang mudah dipahami anak. Kami juga sering membacakan berita / artikel yang memuat efek buruk menonton televisi, dan berusaha menghubungkannya dengan keseharian anak. Misal: Coba perhatikan, kamu jadi lesu dan tidak punya ide kalau terlalu lama menonton tivi. Bandingkan kalau kamu bermain lari-larian? Terasa lebih ceria dan segar. Mana yang lebih enak?
3. Menambah intensitas kebersamaan keluarga
Ketika anak ‘tidak mendapatkan televisi’, pastikan ia ‘mendapatkan ayah dan ibunya’ lebih banyak daripada biasanya. Lakukanlah kegiatan yang menekankan kebersamaan keluarga, seperti olahraga pagi, mengobrol, bermain, membaca, piknik, dll. Hal ini yang bisa menambah kedekatan hubungan keluarga secara emosional. Kebutuhan emosional anak akan kelekatan pada orangtua tidak bisa digantikan oleh tontonan sebagus apapun, sebab inilah kebutuhan naturalnya, seperti kebutuhan makan dan minum. Meskipun anak terlihat anteng di depan televisi menonton program seberkualitas apapun, tidak akan dapat mengisi kebutuhan emosional ini.
4. Menyediakan buku-buku untuk dibaca anak
Kami tak segan-segan mengalokasikan dana untuk membeli buku-buku baru untuk anak, membuat semacam perpustakaan kecil di tempat biasanya televisi diletakkan. Jadi, setiap kali anak ingin menonton televisi, yang ia temukan adalah buku-buku itu. Lalu, kami juga menyiapkan kertas-kertas, spidol, mainan-mainan kesukaan anak, dll. sebagai alternatif kegiatan. Saat beraktifitas, kami biasa memutar musik kesukaan anak, sehingga suasana terasa menyenangkan dan hidup.
5. Mengakses Youtube
Kami menemukan bahwa Youtube adalah media yang cukup efektif sebagai sumber tontonan yang sangat minim iklan. Dengan syarat, dilakukan pendampingan hingga orangtua yakin anak bisa melakukan akses positif secara mandiri. Kami memberi waktu terbatas kurang lebih 2 jam per hari untuk kegiatan ini. Perlu diperhatikan, bahwa orangtua juga tidak boleh mengakses internet berlebihan (setidaknya di depan anak). Supaya tidak beralih menjadi kecanduan gadget/internet karena kekosongan ‘posisi’ tv.
6. Peraturan yang Lentur
Seperti batang-batang bambu yang mampu bertahan dalam terpaan angin kencang karena kelenturannya, begitulah kurang-lebih cara kami menerapkan peraturan di rumah.
Contoh kasus. Bila anak menonton televisi di rumah teman atau kakek nenek, maka kami biarkan, selama masih dalam batas wajar. Malahan, kami menggunakan momen ini untuk mengedukasi anak tentang tayangan televisi. Menanyakan apa pendapatnya tentang tontonan itu, membenturkannya dengan nilai-nilai kebaikan dalam keluarga kami, menggali argumen-argumen, dan membiarkannya memutuskan apakah tontonan itu baik atau buruk. Cara ini diharapkan bisa membangun auto-sensor dalam diri anak, sehingga di masa depan, otomatis akan menyeleksi tontonan meski tanpa orangtua. Tetapi bila dirasa telah berlebihan, kami akan menawari anak alternatif kegiatan lain yang sama-sama menyenangkan, misalnya bermain bersama di luar rumah atau jalan-jalan.
7. Bimbing anak menemukan hobinya.
Terus gali minat anak, dengan tujuan menemukan apa yang sungguh-sungguh menjadi hobi. Bila anak sudah menemukan hobinya, ia tidak akan terpikir untuk nonton televisi lagi. Sebab waktunya sudah tercurahkan untuk melakoni hobinya seharian.
8. Teladan dan Inisiatif Orangtua
Program NO TV tidak akan bisa sukses dengan modal teriakan, hukuman, atau omelan. Teladan dan inisiatif orangtua memainkan peran yang sangat besar di sini. Isilah waktu luang dengan melakukan kreatifitas, menekuni hobi, membaca, atau hal-hal positif lain yang pantas untuk diteladani anak. Bangunlah komunikasi yang akrab dengan anak, dan tambah intensitas kebersamaan keluarga.
Televisi, Bukan Harga Mati. Sebelum memutuskan memberikan televisi pada orang lain, ada pertanyaan yang selalu menghantui kami: Bagaimana kami bisa hidup tanpa televisi? Apakah kami akan menjadi manusia bodoh, terbelakang, dan tidak bahagia? Namun kekhawatiran kami tidak terbukti. Mengakses informasi tidak melulu harus dari televisi. Banyak hal produktif yang bisa kami lakukan, karena tak ada lagi waktu nongkrong di depan televisi. Komunikasi kami terasa lebih akrab. Hari-hari terlewat dengan lebih bermakna. Pikiran dan perasaan kami terasa lebih segar.
Lambat laun, kami pun menemukan jawabannya: Ya, kami lebih bahagia hidup tanpa televisi. “No TV? No cry!”
Sumber : www.aprinesia.com/dampak-negatif-tv-pada-anak/
Tim Tema Diskusi Harian HSMN Pusat
HSMN.Timtemadiskusi@gmail.com
Rabu, 25 Nopember 2015