Dilema Si Tukang Merepet, Pilih Jadi Penulis atau Pembicara?

Dilema Si Tukang Merepet, Pilih Jadi Penulis atau Pembicara?   Hai, Merepeters! a.k.a si tukang merepet. I'm one of You . Merepet atau b...

Dilema Si Tukang Merepet, Pilih Jadi Penulis atau Pembicara?
Dilema Si Tukang Merepet, Pilih Jadi Penulis atau Pembicara? 

Hai, Merepeters! a.k.a si tukang merepet. I'm one of You. Merepet atau berbicara dengan cepat itu beda dengan cerewet, ya! Merepet lebih tertuju pada tempo bicara yang cepat, sedangkan cerewet identik dengan kebiasaan mengomentari segala hal. Ya, walaupun tak dipungkiri kebanyakan orang cerewet itu bicaranya merepet. Hahaha..

Fakta si Tukang Merepet

Saat hendak membuat tulisan ini, saya menyempatkan waktu untuk membaca berbagai artikel tentang kebiasaan berbicara cepat. Mulai dari ulasan penyebab secara psikologis, genetik, hingga masalah kesehatan. Wew, beberapa tulisan beneran bikin saya kaget, sih.

Sebuah laman psikologi menyebutkan bahwa 99% penyebab bicara terlalu cepat adalah karena rasa gugup dan tidak percaya diri tampil di depan umum. Sedangkan terkait medis, bicara cepat ataupun belibet termasuk dalam kategori kesulitan bicara, yang menandakan kondisi medis tertentu. Seperti tersumbat atau pecahnya pembuluh darah di otak yang disebabkan oleh stroke, cidera kepala, serta tumor. Kalau yang ini sepertinya lebih mengarah kepada cara bicara yang gagap, ya.

Faktanya berdasar pengamatan serta sebagai orang yang berbicara cepat, rata-rata si tukang merepet yang saya temui adalah mereka yang punya kompetensi di bidangnya. Secara singkat, penyebab mereka (dan saya) berbicara dengan cepat adalah karena ada banyak hal di kepala yang ingin segera disampaikan. Sehingga kata-kata yang keluar jadi tak terbendung dan tanpa sadar udah kaya kereta api, retetetetetetetet.

Baca juga : Buku yang Membuatku Jatuh Cinta pada Sejarah

Ketika menyadari public speaking itu penting

Saat di Sekolah Dasar, saya adalah si demam panggung. Yang tiap tampil lomba atau acara sekolah selalu melihat ke langit-langit, mengawang di udara, dengan kedua jari telunjuk memegang ujung kiri kanan rok sekolah. Tak jarang jadi belibet saat lomba cerdas cermat, atau menerjang tempo ketika menyanyi macapat. Well, saat itu saya merasa itu normal.

Berlanjut ke bangku SMP dan SMA. Yang awalnya grogi tiap kali pidato di hari jumat, karena sudah menjadi rutinitas akhirnya rasa gugup pun berkurang. Namun cara pidato saya layaknya orang yang sedang ujian tahfidz, alias hafalan Al-Qur'an. Saking nglothoknya, lagi-lagi durasi pidato seringkali terlalu singkat, dengan cara bicara yang super cepat. Yang penting lancar dan tugas selesai. Itu yang saya pikirkan saat itu. Di fase ini saya juga belum sadar kalau cara bicara bisa jadi PR tersendiri.

Tibalah di masa kuliah. Tepatnya saat sidang skripsi secara terbuka. Penjelasan yang telah dilatih berpuluh kali di depan Adik, Teman, Orangtua, tentang penelitian saya, berbuah tanggapan, "Ha?" "Apa-apa?" "Gimana?" "Coba ulangi, lagi" "Coba lebih pelan jelasinnya" "Penelitiannya menarik, makanya pelan-pelan aja jelasinnya" dari para penguji. Wkwkwk.. Bahkan pada saat menyampaikan hasil penilaian di sidang berikutnya, yakni sidang tertutup, pesan ketiga penguji saya cuma satu, "Saya tahu kamu paham dengan penelitian ini, tapi tidak dengan semua orang. Jadi bicaranya jangan cepet-cepet, ya!" yang sontak disambut tawa dari semua orang, termasuk saya. Yeah, di titik inilah saya menyadari bahwa ada hal yang perlu diperbaiki.

Enak jadi penulis atau pembicara?

Meski dikenal dengan cara bicara yang cepat (yang seringkali dianggap cerewet), tapi saya sangat menikmati momen-momen kesendirian sambil baca buku sambil ditemani secangkir kopi sachet. Bahkan sampai sekarang! Tak jarang, selepasnya membuahkan beberapa topik menarik untuk ditulis, alih-alih dipendam menjadi sebuah gerutuan atau euforia tanpa makna.

Tanpa sadar menulis menjadi produktivitas yang menyenangkan. Banyak baca - banyak diskusi - merasakan pengalaman - banyak ide nulis. Blog yang awalnya hanya jadi "tempat sampah", perlahan juga menjadi tempat belajar, pun menghasilkan cuan. Hahaha.. Intinya, buat saya si tukang merepet, jadi penulis itu menyenangkan. 

Kalau diminta jadi pembicara, panik nggak? 

Selepas kuliah saya sempat diajakin ngajar di sebuah kampus sebagai dosen tidak tetap. Sangat menarik dan begitu menyenangkan. Walaupun di awal mengajar tetap tidak luput dari komentar mahasiswa yang bilang, "Bu, jangan cepat-cepat!". Jadi paham kan perjuangan untuk belajar bicara yang proper di depan umum? Kemudian saya merasa enough is enough, saatnya saya bikin strategi saat berbicara di depan khalayak.

Pertama, lakukan mind mapping atau buat kerangka pikir. Meski merasa paham dan hafal apa yang akan disampaikan, mind map inilah akan senantiasa menjaga topik pembicaraan agar kembali kepada tema awal. Istilahnya nggak nggrambyang cerita sampai ke mana-mana.

Kedua, tentukan jeda. Dari mind map yang telah dibuat, tandai pada poin-poin mana saya harus membuat jeda. Setiap jeda bisa diisi dengan berbagai cara, seperti membuka diskusi, menanyakan pendapat, menayangkan video, membacakan puisi/ quote/ kisah. Jeda-jeda inilah yang membuat saya tetap sadar untuk menjaga tempo saat berbicara.

Ketiga, melatih artikulasi. Yup, kebanyakan si tukang merepet disertai dengan ketidakjelasan artikulasi. Inilah yang membuat orang lain sering kali Hah? Heh? Hoh? tiap kali kita bicara. Sebelum menjadi pembicara dalam kegiatan apapun, sekecil atau sebesar apapun, sebaiknya sempatkan waktu untuk berlatih mengucapkan kata-kata yang akan disampaikan. Tak bersuara boleh, bersuara lebih baik. Dari sini saya akan paham di kata bagian mana saya sering belibet, di penjelasan mana saya kecepetan, dan lain sebagainya.

Di atas semua itu, jam terbang memang tak terbantahkan. Makin banyak mencoba, makin mengerti dimana kurangnya. Lantas, apakah sekarang sudah merasa oke sebagai pembicara? Ya tentu tidak! When you know something, then you realize that you know nothing.

So, buat si tukang merepet, enak jadi penulis atau pembicara? Dua-duanya challenging!

Related

Tips 5055452643413531085

Post a Comment

Hai, saya Nurul.
Terima kasih telah berkunjung dan berkomentar pada artikel ini. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.
Salam hangat.

emo-but-icon

item