Kenapa Harus Mondok?
Ada yang berbeda di awal tahun ajaran ini. Banyak di antara teman alumni pesantren dulu, yang tahun ini memasukkan putra/ putrinya ke pesant...
https://www.parentingid.com/2023/09/kenapa-harus-mondok.html
Ada yang berbeda di awal tahun ajaran ini. Banyak di antara teman alumni pesantren dulu, yang tahun ini memasukkan putra/ putrinya ke pesantren, termasuk saya. Diantara mereka ada yang masuk di jenjang sekolah menengan pertama maupun atas. Tentu kami para orangtua memiliki berbagai pertimbangan serta alasan yang berbeda, termasuk sekolah yang kami pilih. Namun saya yakin, pengalaman Ibu Bapaknya dulu lah yang melatarbelakangi kami juga ingin agar anak-anak dapat merasakan sekolah berasrama, baik pesantren, pondok, boarding/ asrama, atau apa pun sebutannya.
Kenapa harus mondok?
Itulah hal pertama yang ditanyakan oleh putra sulung kami, saat membahas tentang rencana pendidikannya. Saya rasa kebanyakan dari orangtua akan menjawab, agar mandiri! But well, mandiri yang seperti apa, sih?
Belajar beradaptasi
Proses adaptasi adalah salah satu hal yang paling menantang di awal-awal anak masuk asrama. Minggu pertama merupakan momen yang bikin hati Emak sungguh campur aduk. Dengan semangat dan rasa antusias untuk bersekolah di luar kota, saya pikir si Abang akan mudah beradaptasi dengan lingkungan dan teman. Terlebih di usianya yang memasuki 15 tahun. Namun ternyata tak ada yang mudah untuk memulai hal baru. Abang merasa susah bergaul, bingung mau ngajak ngobrol apa ke teman yang lain, jokes-jokes yang kurang nyambung karena latar belakang budaya yang saling berbeda, merasa dia kurang asyik, hingga membuatnya merasa kesepian. Hiks..
Minggu pertama ini nyaris membuat saya lemah, nggak tega, serta kasihan dengan rasa frustasinya. Di situlah peran ayah sangatlah dibutuhkan. Saat saya mulai galau, sang ayah dengan tegas mengatakan bahwa itu proses yang harus dihadapi. "Nggak boleh nyerah, apalagi mau mundur. Kalau dulu Ayah dan Bunda bisa melaluinya, Abang juga pasti bisa!" ucapnya meyakinkan. Si Abang pun dengan berat hati melanjutkan proses pendidikannya di asrama, hingga akhirnya menemukan bahagia.
Bertanggung jawab atas diri sendiri
Setelah minggu pertama dilalui dengan galau, terbitlah minggu kedua yang diwarnai dengan gangguan kesehatan, alias meriang. Demam, batuk, pilek berkepanjangan hingga penyakit ISPA pun singgah karena polusi udara. Halahh! Intinya saya kembali panik ngajak periksa ke sini dan situ, sementara anaknya berasa nggak pengin sembuh karena males banget minum obat. Di titik inilah saya semakin yakin, bahwa asrama adalah tempat yang tepat baginya untuk belajar mengurus diri sendiri. Tinggal niat ingin sembuh atau tidak. Walau awalnya drama juga, tapi perlahan si Abang mulai mau tetap makan, minum obat teratur, banyak minum air putih, karena dia sadar tidak selamanya bisa bergantung pada orangtua, apalagi orang lain.
Selagi anak sedang belajar mengurus dirinya sendiri, orangtua juga perlu siap mental dan bersabar membersamai dalam setiap prosesnya. Jadi kalau mendadak telepon ngabari sandal hilang, tutup botol hilang, gelas tertukar entah dengan siapa, maka jangan sekali-kali mengatakan, "Lho kok bisa?" karena niscaya kata-kata tersebut sungguh tak ada faedahnya. Hahaha..
Berani menerima konsekuensi dan cepat mengambil keputusan
Salah satu cerita lucu di awal masuk asrama adalah tragedi hilangnya seragam, dua stel sekaligus! Baju pramuka dan batik. Seketika nada bicara saya langsung meninggi saat di telepon, sementara si Abang juga ikut marah karena panik. Maka rentetan kata perintah pun meluncur tanpa jeda, "Lemarinya dirapikan dulu, siapa tahu keselip. Cek di jemuran dan laundry. Semua barang ditata ulang. Toko yang jual seragam deket situ ada nggak? Batiknya kan harus jahit dulu, bla bla bla..". Dalam keadaan panik dan kepepet si Abang menjawab, "Ini mau beli seragam pramuka dulu, soalnya dipakai besok. Batiknya nunggu dulu aja, nanti dicari lagi, kan masih minggu depan jadwal pakainya."
Empat hari pasca tragedi, tiba-tiba saya mendapat kabar bahwa kedua seragamnya telah kembali! "Tahu-tahu pas masuk kamar udah ada di kasur, Bund. Lengkap dua-duanya, masih terlipat rapi lagi! Aneh.." Jeng jeng jeng, yah begitulah, selalu ada-ada saja kejadian saat tinggal bersama di satu ruangan yang sama. Kalau diingat-ingat lagi, saya jadi bersyukur karena dia memutuskan untuk tidak buru-buru membeli kain batik seragam.
Sejak kejadian itu si Abang bilang ke saya, "Bunda nggak usah nyuruh-nyuruh buat bersihin lemari, beresin box, dll. Nanti ada saatnya sadar sendiri. Kayak gini kan udah tau kalau lemari berantakan pasti baju hilang nggak akan ketahuan, jadi nggak usah disuruh, ya." Oke, baiklah.
Mengenal diri sendiri
Kurang dari dua bulan sejak masuk asrama, si Abang mulai lebih mengenal dirinya sendiri. Apa yang ia sukai, apa yang ingin ia coba. Bahkan dengan tertawa menceritakan bahwa ia mendapat tugas menjadi penjaga parkir dalam sebuah event besar sekolah. Sesuatu yang tak pernah terlintas di pikiran sebelumnya. Ia jadi paham cara mengelola uang, menentukan prioritas, bahkan tak takut mengambil inisiatif. Salah satunya ketika harus pulang ke kota asal untuk mengambil ijazah. Saat itu Abang yang mungkin paham kalau emaknya ini sudah berubah jadi sopir antarkota dadakan sebulan terakhir, berinisiatif untuk kembali ke asrama sendiri dengan naik travel. Hal-hal baru yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan, ternyata dapat dilaluinya dengan baik. Maka kami sebagai orangtua pun semakin yakin bahwa melepasnya untuk tinggal di kota lain adalah langkah yang tepat, agar ia dapat merasakan berbagai pengalaman baru, yang akan berguna dalam menjalani kehidupan sesungguhnya di masa mendatang.
Baca juga : Resensi Buku 30 Paspor di Kelas Sang Profesor
Inspirasi
So, kenapa anak harus mondok?
Pertama, sebagai pribadi, pengalaman empiris saya mengatakan itulah yang terbaik.
Kedua, saya sangat terkesan setelah membaca buku 30 Paspor di Kelas Sang Profesor karya J.S. Khairen. Buku ini menceritakan kisah anak-anak semester awal di kelas Prof. Rhenald Kasali, yang diberi tugas untuk merantau ke luar negeri dengan kebebasan pilihan. Syaratnya, tidak boleh ada mahasiswa yang memiliki tujuan kota yang sama. Maka berbagai cerita pun mengalir, dari kesasar, kecopetan, tidur di jalanan, kepanikan para orangtua, hingga ada yang mati-matian mencari sponsor karena tidak punya modal. Karena dalam keadaan sendiri, sejatinya manusia pasti akan mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Sebuah kisah seru yang membuat saya selalu terngiang dengan pesan Sang Profesor, "Berikanlah kesempatan pada anak-anak untuk merantau, niscaya ia akan kembali sebagai manusia yang sejati.". Ketiga, seorang senior yang cukup dekat di dunia kerja pernah berkata kepada saya, bahwa ia ingin memasukkan anaknya di pesantren/ pondok/ asrama, karena para lulusan yang pernah ia temui selalu menunjukkan dedikasi, semangat dan inisatif yang tinggi.
فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
"Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung." QS. Al-Jumuah : 10