Semarang Contemporary Art Gallery: Memandang Rupa di Kota Lama
Siapa yang tak kenal dengan Kota Lama Semarang? Kawasan Kota Lama atau dalam Bahasa Belanda disebut dengan Semarang Oude Stad, merupakan k...
Dilihat dari kondisi geografi, tampak bahwa kawasan ini terpisah dengan daerah sekitarnya, sehingga tampak seperti kota tersendiri dengan julukan "Little Netherland". Kawasan Kota Lama Semarang ini merupakan saksi bisu sejarah Indonesia masa kolonial Belanda selama lebih dari dua abad.
Lokasi Kota Lama berdampingan dengan kawasan ekonomi dan Stasiun Tawang yang merupakan pusat perdagangan pada abad 19–20. Di kawasan ini terdapat lebib dari 50 bangunan kuno yang masih berdiri kokoh dan mempunyai sejarah Kolonialisme di Semarang.
Kondisi bangunan di Tahun 1937 saat digunakan sebagai kantor asuransi pertama di Indonesia, "De Indische Lloyd" milik Oei Tiong Ham |
Kondisi Semarang Gallery sesaat akan dilakukan konservasi oleh Chris Dharmawan |
Sebagai penikmat seni, museum selalu menarik minat saya. Terlebih museum kontemporer, yang sajiannya cenderung lebih mudah dinikmati.
Sebetulnya sudah lama saya ingin mengajak anak-anak berkunjung ke Semarang Contemporary Art Gallery, namun entah mengapa teriknya matahari seringkali menyurutkan niat kami, hingga beberapa waktu lalu akhirnya berhasil menjejakkan kaki di museum ini.
Berdiri sejak tahun 2001, Semarang Gallery yang saat ini dikelola oleh seorang kolektor dan filantropi seni, Chris Dharmawan, pada tahun 2008 berpindah lokasi dari pusat Kota Semarang ke Jalan Taman Srigunting No. 5 - 6 Semarang. Tepatnya menempati bangunan warisan budaya yang menjadi tempat tinggal Pastur L Prinsen sekaligus tempat ibadah umat Katolik di tahun 1822.
Semarang Contemporary Art Galery sejak 2008 hingga saat ini |
Kontras dengan panasnya siang di hari Minggu itu, begitu memasuki gedung suasana pun berubah menjadi sejuk. Ruangan yang luas serta langit-langit tinggi memberi kesan megah sekaligus bersejarah pada saat yang bersamaan. Dengan biaya admisi Rp. 25.000,-/ orang, kami berkesempatan menikmati karya dari Pidi Baiq, Klowor Waldiyono, serta Rudy Mordock, yang disajikan secara apik oleh kurator Heru Hikayat dalam pameran "Sapuan Kuas dan Kelaliman Bentuk".
Di lantai bawah, seorang penjaga telah siap menerima para pengunjung. Sang Bapak adalah satu-satunya petugas yang in charge pada hari itu. Dengan lancar ia menjawab setiap pertanyaan dari kami. Tak jarang pula terlihat ia asyik mengobrol dengan pengunjung tetap museum ini, terdengar dari hal-hal yang mereka bahas.
Di sudut ruangan yang sama terdapat berbagai souvenir serta buku-buku seni yang dijual, sedangkan bangunan di samping gedung utama dimanfaatkan untuk cafe baca. Menarik! Rasa-rasanya inilah kelebihan galeri yang dikelola oleh pribadi, sebagaimana yang pernah saya jumpai di Museum Ullen Sentalu maupun Muesum Affandi di Yogyakarta. Bersih, terawat, serta menyediakan berbagai hal yang dapat menarik minat pengunjung untuk betah berlama-lama.
Baca juga : Menjelajahi Wisata Kaliurang dalam Sehari
Sangat menyenangkan dapat menikmati karya-karya unik sambil berkeliling dan sesekali berfoto. Antusiasme setiap kali melihat pola baru, warna baru, dan bentuk baru, sungguh memunculkan endorfin dalam diri saya. Beberapa keterangan disertakan di setiap ujung lukisan, yang dapat pula dilakukan dengan memindai barcode. Saya yakin penjelajahan ini tentu akan lebih seru jika ada pemandu yang menemani.